PERBINCANGAN TEMPO DOELOE.
Dalam sebuah kesempatan saya
bertemu dengan salah seorang pengusaha kuliner di tempat beliau buka usahanya
yaitu di Wonosobo, beliau bernama L.
Agus Tjugiarto tutur bahasnya sangat mengasikkan, bercerita tentang keadaan
Dieng dan Wonosobo, sangat menarik sekali perbincangan itu sambil mengelus jenggotnya
yang panjang terjuntai, pertemuan yang relative singkat itu seakan sudah kenal
lama dengan saya. Bapak yang berjenggot ini bukan hanya sekedar pengusaha hotel
dan kuliner saja tapi telah menulis tentang DIENG PLATEAU yang berada pada
ketinggian ±2093 m dpl terletak diantara dua daerah Kabupaten banjarnegara dan
Wonosobo.
Berdasarkan SK Gubernur Hindia
Belanda No 33, tanggal 6 September 1937. Nama Dieng berasal dari kata diyang atau dihyang yang artinya tempat Hyang / Dewa. Hyang sendiri artinya
arwah leluhur, sama artinya dengan tempat para dewa yang bagaikan nirwana
Sekitar abad ke-19 daerah Dieng Plateau sudah banyak dikunjungan orang baik
dari daerah sekitar maupun para turis mancanegara, namun sarana transportasi
belumlah sangat memadahi, banyaknya tikungan yang curam dan berkelok-kelok.
Kendaraan yang ada hanyalah andong, tandu dan kuda, dapat dibayangkan
transportasi menggunakan kuda atau tandu sambil menikmati keindahan alam
pegunungan.
Yang sangat mengesankan Bapak L.
Agus Tjugiarto memberikan gambaran tentang tarif transportasi waktu itu:
Sewa dokar/delman dari Wonosobo-Garung
Kuda setiap 1 pal ( ± 2 km)
Pengawal
Penandu 4 orang, tiap pal/orang
|
1,25 Gulden
0,25 Gulden
0,25 Gulden
0,05 Gulden
|